Kabut tebal dan rujan
rintik mengantarkan langkah awal kami ke base camp Candi ceto tepat di bawah situs. Malam itu
perbedaan mencair dengan canda tawa dan semangat anak Negeri.
Pendakian gunung Lawu via jalur candi ceto. Satu dari sekian banyak
jalur yang dipakai para pendaki menuju
puncak Gunung Lawu.
Bisa dibilang jalur pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho
ini masih sangat asri, bersih, dan alami dibandingkan dengan jalur umum yang lain yang bisa dibilang sudah sangat kotor. Kondisi jalur Candi Cetho ini
berupa track tanah yang gembur dengan vegetasi yang cukup rapat sehingga sangat
terasa nuansa gunung dan hutannya tidak seperti jalur Cemoro Sewu.
Pagi hari dengan kabut tebal kami Green Backpacker Nusantara
memulai expedisi spiritual Gunung lawu dengan ditemani sahabat dari berbagai komunitas pecinta alam setempat SODA.
Langkah pertama kita akan disuguhi dengan candi hindu kuno, nuansa magis
dengan struktur energy halus menyelimuti
kompleks candi ini. Tegur sapa kami sampaikan sebagai rasa hormat terhadap
sesepuh kami di tanah jawa
SEKILAS CANDI CETO
merupakan candi bercorak agama Hindu yang diduga kuat peninggalan
Brawijaya dibangun pada masa-masa akhir era Majapahit pada tahun 1400-an (abad
ke-15 Masehi). Lokasi candi berada di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496
mdpl dan secara administratif berada di Dusun Seto, Desa Gumeng, Kecamatan
Jenawi, Kabupaten Karanganyar.
Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga
peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga merupakan
tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa/Kejawen. Candi
ini diperkirakan didirikan pada akhir jaman Majapahit.
Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan
asli Jawa atau Kejawen.
Saat tiba di kompleks Candi Cetho, pengunjung akan disambut dengan gapura
yang menjulang tinggi dengan anggun, identik dengan Pulau Bali. Dua buah patung
penjaga yang berbentuk mirip dengan patung pra sejarah berdiri membisu di
bawahnya.
Di halaman gapura terdapat batu besar yang ditata berbentuk kura-kura
raksasa. Ada pula relief menyerupai bagian tubuh manusia, yaitu alat kelamin
laki-laki yang panjangnya hampir 2 meter. Tak heran bila akhirnya Candi Cetho
ini pun disebut Candi Lanang.
candi ini merupakan tempat pesanggrahan Brawijaya sebelum
beliau moksa di puncak Lawu. Sebenarnya candi ini belum terselesaikan
seluruhnya, karena saat itu Brawijaya tengah dalam pelarian dikejar-kejar oleh
pasukan Raden Patah dari Demak. Kala itu, dari Desa Seto Brawijaya lalu lari ke
Desa Sukuh dan mendirikan pula sebuah candi di sana.
Namun, sebelum pindah ke Desa Sukuh, pada puncak Candi Ceto
ini Brawijaya sempat mendirikan arca dirinya yang dinamakan Nala Genggong.
Melihat gapura Candi Seto mengingatkan kita akan bentuk-bentuk gapura di Pulau
Bali. Tak salah memang, karena Candi Seto merupakan peninggalan Kerajaan
Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu di tanah air. Candi berundak yang
menghadap ke barat, menjadi simbol berakhirnya Kerajaan Majapahit.
Di beberapa teras terdapat pendapa dan bangunan kayu tempat
arca Brawijaya V dan pengawalnya serta sebuah arca lingga.
Di sebelah timur kompleks candi terdapat sebuah meru yang di
dalamnya menyimpan sebuah lingga sebagai simbol jenis kelamin laki-laki dan
yoni sebagai simbol kelamin perempuan.
Di timur candi, terdapat Puri Taman Saraswati. Taman ini
merupakan tempat sembahyang bagi umat Hindu kepada Sang Hyang Aji Saraswati
symbol kebijaksanaan. Patung Dewi Saraswati adalah pemberian dari bupati
Gianyar Candi Cetho terdiri dari sembilan trap (tingkat) berbentuk memanjang
kebelakang dengan trap terakhir sebagai trap utama pemujaaan terhadap Tuhan
Yang Maha Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba yaitu
punden berundak)
Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi.
Trap kedua masih berupa halaman namun ditrap ini terdapat petilasan Ki Ageng
Krincingwesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho.
Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang di atas
tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani) berbentuk
phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang lebih dari 2 m, dengan diapit dua
buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi.
Pada trap keempat dapat ditemui relief pendek yang merupakan
cuplikan kisah Sudhamala, (seperti yang terdapat pula di Cabdi Sukuh) yaitu
kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Pada trap
kelima dan keenam terdapat terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk
candi.
Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut masih sering
digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan. Trap
ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan kiri yang merupakan arca
Sabdapalon dan nayagenggong, dua orang abdhi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya
yang juga merupakan penasehat spiritual dari beliau. Hal ini melambangkan
kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili kedua tokoh tersebut.
Pada trap kedelapan terdapat arca Phallus (kuntobimo) di
samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “mahadewa”.
Arca phallus melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi
cetho dan sebuah pengharapan kepada Tuhan yang Maha Esa agar kesuburan yang
dilimpahkan itu tak kan terputus selamanya.
Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan
masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang bèrbudi bawa
leksana, ambeg adil paramarta yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan di muka
bumi. Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat
pemanjatan doa kepada Penguasa Semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus
berukuran 1,50 m2.
Candi Cetho menghadap ke arah timur hal ini berbeda dengan
candi-candi yang ada di Jawa Tengah karena Candi Cetho begitu pula Candi Sukuh
dibangun pada masa Majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi
terpengaruh oleh apa yang terbiasa ada di candi-candi Jawa Timur.
Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah
bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum
melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan)
Pada undakan kedua akan didapati (terhampar di tanah) sebuah
Arca Bulus (Kura-kura) yang merupakan simbol suci, dan bersambung dengan Lingga
(alat kelamin laki-laki) yang rebah. Candi ini memang didominasi oleh arca-arca
berbentuk lingga
Selain arca yang berbentuk lingga, di candi ini juga
terdapat 12 arca lainnya. Namun demikian, amat disayangkan candi ini telah
kehilangan beberapa arcanya akibat ulah orang-orang yang tak bertanggungjawab.
Ini memang kisah lawas yang hingga kini tetap diyakini
kebenarannya oleh warga Karanganyar dan sekitarnya. Lebih-lebih lagi di areal
candi, terutama pada halaman XIII, ada ditemukan arca Sabda Palon, tokoh
penting dalam babak akhir Kerajaan Majapahit.
Tiap enam bulan, pada hari Selasa Kliwon, di halaman punden
digelar satu ritus suci upacara Madasiya. Ritual yang sesajiannya bersaranakan
nasi tumpeng, buah, bunga, air, dan dupa tersebut memiliki makna warga Desa
Ceto dan sekitarnya menyampaikan rasa terima kasih sekaligus memohon agar
Krincing Wesi tetap menjaga keselamatan mereka.
Teras enam tak ada peninggalan arkeologi. Memasuki teras
ketujuh, terdapat sebuah candi puncak yang menyerupai piramida atau kuil era suku inca
Meninggalkan candi ceto Langkah kaki membawa perjalanan menuju daerah perbukitan
yang lebih terbuka di kaki Gunung Lawu. Dari tempat itu bisa lebih leluasa
menyapukan pandangan ke sekeliling, menikmati keindahan panorama lembah, bukit,
dan hutan. Langkah harus lebih hati-hati di tempat itu karena jalan setapak
yang dilewati berada di tepian bukit yang berbatasan langsung dengan jurang.
Jalan setapak tersebut tidak terlalu lebar, hanya sekitar 50 cm dan di beberapa
tempat terdapat bebatuan yang menyembul menghalangi jalan. Setelah menyusuri
sisi bukit, perjalanan berlanjut dengan turun ke arah lembah dimana di dasarnya
terdapat sebuah sungai kecil yang dipenuhi dengan bebatuan. Dari bukit, lembah
menuju bukit lagi diseberang sungai kecil tadi, jalan kembali menanjak curam,
dimana ada sebuah bangunan candi kuno berbentuk piramid, berdiri megah
dipuncaknya.
Di antara sela-sela pepohonan di
puncak bukit tersebut, tampaklah sebuah bangunan yang tersusun dari bebatuan,
yang dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai Candi Kethek. “Kethek” adalah kata
dalam bahasa Jawa untuk menyebut Monyet atau Kera. Candi tersebut dinamai
dengan Candi Kethek karena dipuncak candi dahulunya terdapat arca hanoman, kera
putih dari epos Mahabarata dan Ramayana. Selain itu, hutan di sekitar candi
sering pula di datangi monyet-monyet liar. Candi Kethek memiliki keunikan dalam
struktur bangunannya yang berbeda dari candi-candi lain di Nusantara. Candi
tersebut berbentuk piramid, yang dari struktur bangunannya bisa dikategorikan
sebagai small stepped pyramid. Stepped pyramid adalah versi lebih modern dari
bangunan punden berundak yang banyak dibangun pada era Megalithicum. Gaya dan
struktur piramid semacam itu muncul di era awal kebudayaan Mesir Kuno dan
Piramida yang dibangun oleh suku Maya, Aztec dan Inca. Dari keseluruhan batu
yang menjadi penyusun candi, hanya satu buah batu di tangga paling bawah yang
mempunyai relief berbentuk ornament. Bebatuan lainnya adalah batu-batu gundul,
yaitu batu polos tanpa relief atau pahatan patung-patung seperti candi-candi
lain pada umumnya.
Candi Kethek terletak di sebelah
timur Candi Cetho, tepatnya di Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa
Tengah. Peneletian arkeologis awal tentang candi tersebut menyatakan bahwa
Candi Kethek adalah Candi Hindu yang dibangun sekitar abad ke 15. Perkiraan
tersebut berdasarkan temuan arca kura-kura simbol Dewa Hindu dalam Kisah
Sudhamala yang juga terdapat di candi Cetho dan Sukuh. Kemiripan struktur
bangunan candi dengan Candi Sukuh dan Candi Cetho memunculkan asumsi bahwa
Candi Kethek dibangun di era yang sama oleh tokoh yang sama pula, yaitu pada
masa akhir Kerajaan Majapahit, ketika Raja Brawijaya mengasingkan diri ke
Gunung Lawu untuk menghindari serbuan Kerajaan Demak. Ada mitos yang berkembang
di masyarakat sekitar candi bahwa konon Candi Kethek adalah dampar atau
singgasana dari Raja Brawijaya.
Seperti tempatnya yang tersembunyi
diantara hutan dan perbukitan, Candi Kethek masih menyembunyikan banyak
misterinya. :) Misteri dari struktur unik candi yang berbentuk piramida atau
bahkan misteri dari kisah Brawijaya yang dikisahkan moksa di puncak Gunung
Lawu, selalu menggelitik rasa ingin tahu bagi orang-orang yang mengunjunginya.
Tersembunyi, itulah kata kunci yang menjadi daya tarik utama dari keberadaan
Candi Kethek. Hutan, bukit, lembah, kabut, sungai, jurang dan segala unsur
bentangan alam yang seolah menyembunyikannya, merupakan kesatuan unsur yang
seolah menjadi pelindung setia Candi Kethek.
Melewati candi ketek sebelah kiri kita akan melewati kebun
penduduk selanjutnya perjalanan berlanjut menerobos hutan kaliandra dan pinus Sekitar 1 jam kita
sampai di Pos 1 jalur pendakian Gunung Lawu via Cetho.
Dari sisni kita bisa mengikuti pipa air sampai pertengahan pos
3
Selanjutnya tim expedisi mulai menanjak dengan vegetasi
hutan heterogen yang masih lumayan rapat. Apalagi dimusim penghujan jalur ini
berlumpur dan licin.
Pohon-pohon besar masih banyak dijumpai disepanjang jalur
pendakian. Terkadang disalah satu pohon besar yang berada dipersimpangan
dibalutkan kain khas dari agama hindu. Biasanya bercorak kotak-kotak dengan
warna hitam-putih seperti papan catur. Sekitar 1-2 jam anda akan sampai di Pos
2 jalur pendakian Gunung Lawu via Cetho.
Perjalanan dilanjutkan menuju Pos 3 jalur pendakian Gunung
Lawu via Cetho. Jalan yang dilalui bertambah menanjak dengan vegetasi heterogen
lebat. Kecuali setelah dekat dengan Pos 3 barulah sedikit terbuka dengan Akasia
sebagai tumbuhan yang dominan. Sekitar 2 jam sampailah kita di Pos 3. Tempat
ini lumayan untuk mendirikan camp.
Dari pos 3 Jalur masih menanjak dan semakin menanjak.
Tetapi, disekitar jalur pendakian didominasi pohon cemara dan akasia dan
kaliandra. Jalur lumayan jelas dan enak untuk dilewati. Senja mulai menghampiri,
terpaan angin kencang membuat alunan music yang khas di sela sela
kaliandra. Hawa dingin dan rintik kabut
mulai menghiasi perjalanan
Dengan waktu 1-2 jam sampailah kita di Pos 4 jalur pendakian
Gunung Lawu via Cetho.
selanjutnya dominasi kaliandra dan pinus mengiringi langkah
kami menuju pos 5, badai dan udara dingin sesekali menghetikan langkah.
Perasaan lega ketika mata mulai melihat hamparan savanna luas dalam kegelapan
…
Kabut tebal, angin kencang.. badai.. ya.. badai ini menuntut kita untuk mengakui ketidak
berdayaan kita terhadap kekuatan alam. Untuk semakin merunduk sebagai makluk
ciptaan, sadar sepenuhnya bahwa dialah Yang Maha Kuasa dan Perkasa atas
segala-galanya
Dam kondisi yang tidak memungkinkan, keputusan untuk
bermalam di pos 5 pun di ambil,
hangatnya kebersamaan dan canda
bepadu menambah suasana
hangat di tenda.
fajar mulai menampakkan diri setelah semalaman badai menghantam, memberikan rasa hangat dengan cahaya surya yang menerobos celah pinus berkabut… Tuhan.. alangkah indah negeri ini
fajar mulai menampakkan diri setelah semalaman badai menghantam, memberikan rasa hangat dengan cahaya surya yang menerobos celah pinus berkabut… Tuhan.. alangkah indah negeri ini
POS 5 |
Pos 5 jalur pendakian Gunung Lawu adalah savana yang lumayan
luas. Savana tersebut akan terus berlanjut sampai sendang
macan. Pos 5 lebih dikenal sebagai lembah kijang sendiri merupakan dataran.
Jadi, sangat cocok untuk mendirikan camp. Untuk menuju puncak sudah tidak
memerlukan waktu yang begitu lama. Karena dari Pos 5 sudah jarang sekali trek
menanjak.
pagi berkabut dan sarapan pun sudah tersedia, menyiapakan perbekalan untuk lanjut ke puncak lawu..
pagi berkabut dan sarapan pun sudah tersedia, menyiapakan perbekalan untuk lanjut ke puncak lawu..
Hampir di Sepanjang jalur menuju Gupakan Menjangan / Lembah
Kijang dodominasi savana dan pohon cemara
gunung. Jalur sudah tidak terlalu
menanjak dan banyak terdapat jalur yang datar. Menurut beberapa teman di
Gupakan menjangan kadang terlihat rusa atau menjangan. Ditempat ini juga
terdapat sumber air pada musim penghujan.
Seperginya dari Gupakan menjangan, jalur masih sama seperti
sebelumnya. Masih datar dan didominasi savana rumput. Dari Sendang macan kearah kanan
terdapat juga sumber air. Kita bisa beristirahat sejenak menikmati panorama
yang sangat indah dan mendamaikan. Yahh… kubangan air ini mengingatkan kami
kepada ranukumbolo, oase di kaki semeru
Cemoro kembar adalah dua pohon cemara yang saling berjajar
membentuk semacam pintu gerbang. Konon kabarnya Cemoro kembar merupakan pintu
gerbang menuju pasar setan. Yah.. interaksi dengan kehidupan lain lebih sering
terjadi mulai savana ini, sebuah
bangunan besar di dekat pohon ini yang pertama kita jumpai secara astral, dan berbagai bentuk kehidupan astral lainpun
menyapa perjalanan kami…
Perjalanan lanjut dengan trek sedikit menanjak menembus
lebatnya tanaman cantigi, tanaman berdaun merah degan rasa manis, asam dan
sepet, dengan buhnya yang matang berwarna ungu gelap sebagai pelepas dahaga
kami.. 30 menit kemudian kami melewati hamparan luas yang di dominasi cantigi,
edelweiss dan cemara gunung kecil.. dengan batu batuan berserakan dan beberapa batu sepertinya sengaja tersusun
seimbang secara vertical… mirip batu symbol ZEN
Pasar Setan |
Akhirnya kita sampai di pasar setan.. entah kenapa mereka menamakan pasar setan,
padahal beberapa bentuk astral kehidupan disini pun ramah dan lembut, senyuman dan sapaan pun mereka berikan ke team sebagai ucapan selamat
datang. Memang si tempat itu lumayan padat
dengan aktivitas astral.. menuntut kita untuk hidup bersinergi dengan alam dan
semua makluk ciptaan Tuhan. Bukankan tujuan utama kita sebagai manusia, dan
semua makluk ciptaan adalah belajar
untuk kembali kepada Tuhan. Saling mengayomi, membimbing dan saling
berbagi kasih untuk menghantarkan kita ke
tempat yang se tepat-tepatnya.
Dari sepanjang perjalanan ceto ini team mendapatkan kehormatan dari beberapa penduduk astral yang berkeinginan untuk ikut pulang ke rumah team dan berkesempatan untuk belajar membuka hati lebih baik lagi
kepada Tuhan dan belajar menbagikan kasih Tuhan Lebih baik lagi kepada
sesama. Maha besar Tuhan dengan segala
Keindahanya, yang akan menjadi berkah bagi semua makhluk
Melewati pasar setan kita kan bertemu dengan surga lawu…. Nasi Pecel mbok Yem hehehehehehehe… Rp.12rb untuk sepiring nasi pecel + segelas teh hangat
30 menit sebelum puncak dari warung Mbok Yem |
Disini team beristirahat sejenak.. di atas warung Mbok Yem
terdapat sanggar pamujan Hargo Dalem, disinilah para penganut kepercayaan
melakukan meditasi hening untuk mencapai samadi, melakukan olah Rasa untuk menyatukan diri
dengan Sang Hyang Maha Kuasa.
Dari Hargo dalem kita melanjutkan perjalanan sekitar 30
menit menuju ke puncak tertinggi gunung Lawu..
puncak Hargo Dumilah… sujud
syukur kami atas berkah dan nikmat yang
di anugerahkan oleh Sang Maha Pencipta…
Terima kasih TUHAN..
Our life on earth is a great gift. Let us celebrate this gift by being as happy as True Source means us to be, by opening our beautiful hearts and by letting the Love and Light radiate to all.
Thanks True Source
**mohon maaf karena belum bisa dengan leluasa menuliskan kisah secara umum
asik,,,,,
BalasHapusada nomor kontak via candi cetho?
BalasHapusWah keren, lengkap juga, kalo mau tau pengalaman kita dalam Pendakian Gunung Lawu via Candi cetho cek disini atau kunjungi web kami untuk info tempat wisata lainnya disini
BalasHapusinfo menarik
BalasHapusManfaat daun kelor untuk menangkal pengaruh santet, pelet, guna guna dan teluh https://www.youtube.com/watch?v=fISI1k_aKAA
BalasHapusAjian mantra pelet puter giling penakluk wanita https://www.youtube.com/watch?v=_5MuJ6TnYpo&t=30s
BalasHapusRamuan obat untuk perangsang wanita https://www.youtube.com/watch?v=7plT31BRWf4&t=28s
BalasHapus